Di tengah munculnya kesadaran-kesadaran baru akan perayaan Valentine
yang jauh dari nilai Islam, kita mafhum bahwa sebagai gaya hidup,
perayaan aneh semacam ini sulit hilang dari benak kaum muda. Yang
terutama membuat sulit adalah bahwa saat ini media dan industry
memberikan sesuatu yang penting nilainya bagi kebanyakan anak muda,
yaitu soal eksistensi.
Eksistensi ini terutama berkaitan tentang penerimaan dan pengakuan
sosial dari orang-orang sekitar. Saat ini, jati diri kaum muda muslim
tidak dibentuk dari dalam dirinya sebagai seorang muslim, tapi lebih
kepada tekanan komunitas, bentukan pergaulan, dan pengaruh luaran
lainnya, terutama tampilan media.
Secara umum karakter pemuda kita lemah. Beberapa faktor diantaranya
adalah ketidaksiapan orang tua terhadap tantangan zaman yang berpengaruh
pada tumbuh kembang remaja, sekolah yang gagal membangun jiwa mandiri
remaja, dan rusaknya jaring pengaman sosial.
Tantangan yang dihadapi para orang tua dalam mendidik remaja sudah
naik beberapa kali lipat sejak dua dekade terakhir. Sekolah dengan
orientasi bisnis membuat banyak remaja terlantar secara psikologis. Dan
jaring pengaman sosial berupa adab dan moral rusak oleh konsep pemahaman
serba relative dan permisif yang diajarkan secara massif lewat berbagai
media.
Remaja Bergaya, Remaja Merana
Bagi dunia bisnis modern saat ini, tidak ada yang tidak bisa dijual.
Semua dapat dikomersialkan, bahkan soal jati diri. Produk-produk yang
kita lihat saat ini tidak hanya sekedar menawarkan nilai manfaat bagi
para konsumennya, tapi produk-produk ini juga menawarkan sesuatu yang
lebih, prestise.
Seven Eleven bukan sekedar “warung” tempat membeli makanan, tapi ada “gaya” yang ditawarkan. Dengan nongkrong di Seven Eleven, maka citra dari Seven Eleven itu akan menjadi predikat tambahan sosial kita.
Contohnya begini, jika nongkrong di Seven Eleven identik dengan tempat nongkrong anak alay, maka dengan sendirinya jika anda nongkrong disana, maka anda akan dicap anak alay.
Maka jangan heran jika saat ini, hampir semua produk dagangan, tidak
hanya menjual nilai manfaat dari sebuah produk, tapi juga nilai ”citra”
nya.
Dan sekarang mari kita renungkan, bagaimana nasib para remaja kita
yang “terasing” di rumah dan juga di sekolah menghadapi derasnya sugesti
dari berbagai media yang menampilkan beraneka macam produk.
“Malu ga punya smartphone”, “Ga pake behel gigi ga keren”, “Pakai
lensa kontak bikin tambah cantik”, “Ga ngerokok ga punya teman”.
Kalimat-kalimat ini sangat mungkin bersarang di kepala jutaan remaja
muslim Indonesia.
Dari sini saja kita sudah banyak mendapatkan kisah-kisah sedih,
seperti seorang anak yang tega melukai orang tuanya karena tidak
dibelikan motor, remaja putri yang rela menjual diri demi kebutuhan gaya
hidupnya, dan lain lain.
Cerita Derita Cinta Remaja
Mari kita mulai dengan pertanyaan sederhana. “Apakah saat ini remaja muslim Indonesia memahami arti cinta?”
Mari secara aklamasi kita jawab “tidak”. Ada beberapa alasan mengapa
“tidak” menjadi jawaban. Pertama, mayoritas remaja muslim Indonesia
tumbuh dalam kondisi psikologis yang lambat. Bendri Jaysurrahman,
seorang pakar konseling remaja menyatakan bahwa lambatnya pertumbuhan
psikologis remaja saat ini dapat dilihat dari lemahnya mereka memilkul
tanggung jawab. Cinta sebagai atribut psikologis tentu sulit dipahami
konsepsinya bagi mereka yang “terlambat” tumbuh.
Kedua, rusaknya konsep cinta akibat permisifme. Ketika apa saja boleh
dilakukan, maka pergaulan kebablasan antara remaja lain jenis bisa
disebut cinta, hanya dengan dasar suka-sama suka yang sifatnya bisa jadi
hanya sesaat.
Dua alasan ini sudah cukup membuat para remaja dengan cerita cintanya
menderita. Jika kita bicara kasus, hampir tak terhitung jumlah remaja
yang depresi hanya karena patah hati.
Walau demikian, kebiasaan buruk remaja dengan dalih cinta ini tidak
lantas surut walau banyak deritanya. Kebutuhan dasar, rasa ingin tahu
dan alasan lain dieksploitasi sedemikian rupa oleh media massa, seperti
sinetron, lagu-lagu, iklan gaya hidup dan lain-lain. Sehingga remaja
tetap tergiur dengan relasi haram dengan lawan jenis, walau menderita
berkai-kali.
Valentine, Merayakan Kebodohan
Mari kita buka mata baik-baik. Perayaan Valentine tidak pernah punya
urusan dengan cinta kasih. Buktinya sudah berkali-kali Valentine tapi
remaja kita masih bingung tentang apa arti cinta, kasih, dan sayang.
Yang sering ditemukan di perayaan Valentine adalah jualan coklat,
pelecehan terhadap remaja wanita lewat zina dengan alasan suka sama
suka, dan propaganda kondom.
Satu soal syahwat, sisanya barang jualan.
Jikalah masih Valentine itu dianggap sebuah hari yang patut
dirayakan, mari kita jujur mengakui bahwa perayaan hari Valentine adalah
perayaan tentang betapa bodohnya gaya hidup kita ini. Kepatuhan remaja
kita yang dengan senang hati di setir propaganda media sungguh sangat
memilukan.
Perlu untuk selalu diingat, bahwa menjual kebodohan lewat gaya hidup
tidak hanya lewat moment-moment seperti Valentine. Kebodohan dijual
secara regular tiap harinya lewat produk palsu, kampanye bohong, dan
iklan-iklan dusta. Disini, kepekaan kita sebagai umat Islam perlu terus
untuk dikuatkan, karena seringkali karena keterbatasan pemahaman, kita
dilenakan oleh perayaan dan hingar bingar kebodohan.
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa
kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. QS Annisa: ayat 9

0 Komentar untuk "Valentine: Menjual Kebodohan Lewat Gaya Hidup"